MASJID RAYA KOLAKA

MASJID RAYA KOLAKA
MASJID RAYA KOLAKA

at Margono

at Margono
at Margono

Kamis, 21 Oktober 2010

OBAT GENERIK VS OBAT BERMERK

Ketika mendengar obat generik, umumnya orang akan langsung mengasumsikannya sebagai obat kelas dua, artinya mutunya kurang bagus. Obat generik Obat generik pun kerap dicap obat bagi kaum tak mampu. Betulkah asumsi ini?
Faktanya tidak demikian. Kurangnya informasi seputar obat generik adalah salah satu faktor penyebab obat generik dipandang sebelah mata. Padahal dengan beranggapan demikian, selain merugikan pemerintah, pihak pasien pasien sendiri menjadi tidak efisien dalam membeli obat.
Membeli obat tidak bisa disamakan dengan membeli barang elektronik. Umumnya harga barang elektronik sebanding dengan kualitasnya, dimana semakin mahal harganya maka semakin bagus kualitasnya.
Semua obat baru, tentu harus dibayar tinggi untuk jasa penemuannya, yang menjadi hak eksklusifnya. Namun, tidak semua penyakit yang pasien derita memerlukan jenis obat baru.
Edukasi ke masyarakat mengenai obat generik menjadi perlu dan wajib untuk dilakukan. Kenali lebih dekat obat generik, maka Anda akan akan diuntungkan karena meski harga murah tapi mutu tidak kalah.

Sejarah Obat Generik

Obat Generik Berlogo (OGB) diluncurkan pada tahun 1991 oleh pemerintah yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat kelas menengah ke bawah akan obat. Jenis obat ini mengacu pada Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN) yang merupakan obat esensial untuk penyakit tertentu.
Harga obat generik dikendalikan oleh pemerintah untuk menjamin akses masyarakat terhadap obat. Oleh karena itu, sejak tahun 1985 pemerintah menetapkan penggunaan obat generik pada fasilitas pelayanan kesehatan pemerintah.
Harga obat generik bisa ditekan karena obat generik hanya berisi zat yang dikandungnya dan dijual dalam kemasan dengan jumlah besar, sehingga tidak diperlukan biaya kemasan dan biaya iklan dalam pemasarannya. Proporsi biaya iklan obat dapat mencapai 20-30%, sehingga biaya iklan obat akan mempengaruhi harga obat secara signifikan.
Mengingat obat merupakan komponen terbesar dalam pelayanan kesehatan, peningkatan pemanfaatan obat generik akan memperluas akses terhadap pelayanan kesehatan terutama bagi masyarakat yang berpenghasilan rendah.

Kualitas Obat Generik Tidak Kalah

Orang sering mengira bahwa mutu obat generik kurang dibandingkan obat bermerk. Harganya yang terbilang murah membuat masyarakat tidak percaya bahwa obat generik sama berkualitasnya dengan obat bermerk.
Padahal generik atau zat berkhasiat yang dikandung obat generik sama dengan obat bermerk. “Orang kan makan generiknya bukan merknya, karena yang menyembuhkan generiknya,” ungkap dr. Marius Widjajarta, SE.
Kualitas obat generik yang disebut ´tidak genit tapi menarik´ oleh dr. Marius ini tidak kalah dengan obat bermerk karena dalam memproduksinya perusahaan farmasi bersangkutan harus melengkapi persyaratan ketat dalam Cara-cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) yang dikeluarkan oleh Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM).
Selain itu juga ada persyaratan untuk obat yang disebut uji Bioavailabilitas/Bioekivalensi (BA/BE). Obat generik dan obat bermerk yang diregistrasikan ke BPOM harus menunjukkan kesetaraan biologi (BE) dengan obat pembanding inovator.
Inovator yang dimaksud adalah obat yang pertama kali dikembangkan dan berhasil muncul di pasaran dengan melalui serangkaian pengujian, termasuk pengujian BA.
Studi BA dan atau BE seharusnya telah dilakukan terhadap semua produk obat yang berada di pasaran baik obat bermerk maupun obat generik.

Obat Generik Adalah Hak Pasien
Menurut dr. Marius Widjajarta, SE, UU No.8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen konsumen telah menguraikan apa yang menjadi hak-hak seorang pasien, antara lain:
1. Hak untuk informasi yang benar, jelas dan jujur.
2. Hak untuk jaminan kemanan dan keselamatan.
3. Hak untuk ganti rugi.
4. Hak untuk memilih.
5. Hak untuk didengar.
6. Hak untuk mendapatkan advokasi.
7. Hak-hak yang diatur oleh perundang-undangan.
Tidak tanggung-tanggung, jika melanggar maka sanksi yang menanti pun cukup berat. Pelanggar UU tersebut dapat dikenai denda maksimal 2 milyar dan kurungan maksimal 5 tahun.
Pasien memiliki hak untuk memilih pengobatan. DR. Dr. Fachmi Idris, M.Kes mengatakan bahwa pasien pasien harus mengingatkan dokter untuk menuliskan resep obat generik.
Jadi tidak ada alasan terutama bagi konsumen yang berkantong tebal untuk ragu dan merasa ‘bersalah’ jika hendak memilih obat generik dengan alasan penghematan. Apalagi dalam kondisi bangsa saat ini yang sedang menderita kronis akibat permasalahan hukum, politik, ekonomi, dan keamanan, di mana diperlukan kecerdasan seorang konsumen konsumen dalam memilih pengobatan.

sumber: farmasi.dikti.net

2 komentar:

  1. postingnya ok. cuman untuk orang awam kadang mikir gimana bedain obat yang generik n tidak.....
    n apakah tiap apotik ketika kita membeli obat slalu menganjurkan yg generik????
    di tunggu bahasannya.......
    tengkyu

    BalasHapus
  2. Tidak bisa dipungkiri kalo di indonesia, kebanyakan apotek lebih berorientasi pada keuntungan dibandingkan berorientasi pada pasien. Seharusnya keduanya harus selaras antara kepentingan bisnis dan kepentingan pasien. Peran seorang Farmasis (Apoteker dan Asisten Apoteker) sangat dibutuhkan di sini untuk menjelaskan kepada pasien bagaimana sebenarnya obat generik itu, tapi sayangnya masih ada beberapa Farmasis yang tidak mengerti bagaimana sebenarnya peran mereka sebagai seorang Farmasis..

    BalasHapus